Sabtu, 29 November 2014

Cerita Tentang Kopi



Bapak saya tak pernah absen dari secangkir kopi di setiap pagi hari. Katanya, ada semangat yang hilang jika di pagi hari tak ada kopi yang terhidang. Namun kebiasaan “ngopi”  bapak  tidak menurun ke anak-anaknya. Jangankan kopi, teh yang konon katanya lebih sehat pun tak kami tenggak. Mungkin karena kebiasaan saat kecil dulu ibu selalu melarang anaknya minum kopi dengan alasan “kamu masih kecil, gak boleh minum kopi ” jadi saat itu saya selalu menganggap  kopi ini adalah minuman khusus orang dewasa yang membutuhkan surat ijin agar kita bisa menikmatinya.

Kopi pagi tadi :)
Waktu bergulir, entah siapa yang memulai, sepertinya menikmati kopi sudah menjadi tradisi. Kopi yang dulu hanya tersaji dalam bentuk hitam, kental dan pekat mulai berubah menjadi beraneka warna, bervarian rasa dan berpenampilan menggoda. Namun tetap kopi namanya. Saya pun yang dulu bukan penggemar kopi, lirih-lirih mulai tergoda dengan aromanya. Yap, aroma kopi memang menggoda, betul juga kalau dulu ada sebuah iklan di televisi menayangkan seorang istri yang membangunkan suaminya dengan segelas kopi di tangannya. Karena ternyata memang aroma kopi mampu membuat mata yang terpejam menjadi terbuka.

Nah, berbicara soal mata yang terbuka, sebagian besar orang menggunakan kopi sebagai “obat” agar dirinya tetap terjaga di malam hari. Alih-alih minum kopi, apalagi kopi hitam kental agar mata tetap setia sembari lembur mengerjakan deadline tugas atau sebagai penyokong agar tak tertidur saat nonton bola. Namun efek kopi yang seperti itu tak pernah saya rasakan, mau seberapa banyak pun minum kopi, kalau memang mata sudah tak bisa diajak kompromi tetap saja saya tidur seperti biasa. Saat itu saya berfikir apa mungkin efek kopi itu hanya sugesti?

Sampai akhirnya saya berkesempatan mengunjungi Aceh. Ujung barat sumatera ini memang sudah terkenal dengan kopinya. Di setiap sudut kota manapun bisa saya dapati dengan mudah warung-warung yang menyajikan kopi khas aceh. Dan uniknya, hampir semua warung kopi tersebut ramai pengunjungnya. Tua muda, laki-laki wanita, tua atau paruh baya semuanya ada. Mantan pacar kakak saya yang kebetulan orang aceh mengatakan bahwa “ngopi” ini sudah menjadi tradisi. Hampir setiap pagi dia awali di warung sambil menikmati secangkir kopi bersama kue-kue tradisional. Malam pun dia akhiri dengan duduk bersama teman-temannya sambil berbincang berbagai topik yang tak terencana dan tentunya dengan kopi sebagai perekatnya. Kata dia, kopi itu tak hanya sebagai minuman, tapi juga sebagai penyokong kehidupan dan juga sebagai perekat dalam berkawan.





Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Tulisan Pendek Cerita #DiBalikSecangkirKopi yang diadakan oleh NESCAFE Indonesia

twitter : @ahmadrifann
facebook :Ahmad Rifan